Buku Pintar: Transfer Pricing untuk Kepentingan Pajak, Anang Mury Kurniawan
, 17/08/2018
Pembahasan penting dalam transfer pricing dalam buku ini terfokus pada metode kesebandingan, dimana secara historis berdasarkan OECD guidelines, membagi metode transfer pricing kedalam 5 metode yang dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu; (i) Kategori standar/tradisional (metode penentuan harga; CPU, RPM dan CPM), dan Kategori laba transaksi (metode penentuan laba; PSM dan TNMN). Dalam OECD Guidelines 1995, penerapan kelima metode tersebut harus diterapkan secara hierarkhis (mulai CUP, RPM, CPM, PSM secara berurutan dan terakhir baru menggunakan metode TNMN). Sedangkan dalam OECD Guidelines 2009, lebih menfokuskan pada susbtansi harga/laba yang paling sesuai dengan kondisi WP, sehingga tidak perlu lagi menggunakan penerapan 5 metode tersebut secara hierarkhis.
Dari sisi pengujian pihak-pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa (pihak affiliasi), metode transfer pricing dapat dibedakan menjadi 2 teknik, yaitu; (i) one-sided approach (satu sisi, searah), yakni dengan meneliti hanya satu pihak saja yang terlibat dalam suatu transaksi, dan (ii) two-sided approach (dua sisi, dua arah), yakni dengan meneliti para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (WP dan lawan transaksi). Teknik one-sided approach diimplementasikan dalam metode CUP, CPM, RPM dan TNMM. Sementara pada two-sided approach digunakan dalam metode PSM. |
Hukum Pajak Indonesia dan Internasional: (P3B/ Tax Treaty, Transfer Pricing, Tax Avoidance, Tax Evasion, Tax Amnesty), Russel Butarbutar
, 17/08/2018
Segala Jenis pajak dibahas dalam buku ini, mulai aspek hukum pajak materieel mulai dari segala jenis pajak domestik indonesia (PPh dan PPN), pajak international (P3B, tax treaty) dan pajak Daerah (pajak Daerah, retribution dan sumbangan), kemudian dilanjutkan Pembahasannya kedalam aspek hukum pajak formeel meliputi; ketentuan KUP, tindak pidana Perpajakan dan Pengadilan pajak. Termasuk pembahasan tentang teori-teori Perpajakan terkait; pemungutan pajak, subjekt dan objekt pajak, tarif pajak dan Panduan administrasi dalam menghitung, memotong, membayar dan melaporkan pajak. dilengkapi pula dengan pembahasan mengenai; pengampunan pajak, transfer pricing sebagai hal yang penting dalam membahas masalar Perpajakan. Meski pembahasan dalam buku ini bukanlah memfokuskan secara mendalam pada teori dan Aplikasi hukum pajak dalam Dimensi hukum pajak Nasional dan Internasional. Namun sebagai deskripsi umum tentang konsep perpajakan nasional dan Internasional, cukup reprentatif terutama untuk memahami berbagai bentuk pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban di Bidang Perpajakan.
|
Pokok-Pokok Tax Treaty: Panduan Praktis Interpretasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Anang Mury Kurniawan
, 17/08/2018
Dalam buku ini, diuraikan tetang konsep umum P3B. Terdapat 2 model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang sangat berpengaruh dalam desain suatu P3B yaitu OECD model dan UN Model. Kedua model ini sering digunakan sebagai acuan negara-negara di dunia ketika melakukan negosiasi P3B dengan negara lain. OECD model umumnya lebih berorientasi pada kepentingan negara-negara maju, sedankan UN Model umumnya lebih mengedepankan kepentingan negara-negara berkembang. Sehingga wajar jika negara-negara maju lebih cenderung memilih menggunakan OECD Model. Baik dalam OECD model maupun UN model selain memuat substansi dari pasal-pasal yang diperjanjian dalam P3B, juga terdapat penjelasan (commentary) dari masing-masing pasal tersebut. Dalam prakteknya penjelasan dari pasal-pasal ini sering digunakan sebagai dasar dalam melakukan penafsiran suatu ketentuan dari tax treaty.
Disamping itu, dalam buku ini juga dijelaskan secara teknis, jelas dan mendetail tentang subjek dan Objek Pajak yang dicakup dalam P3B, kemudian ditindaklanjuti bagaimana menginterprestasikan mengenai; penduduk, BUT, pemajakan atas harta Tetap dan bergerak serta pamajakan atas modal (deviden, bunga dan royalty serta sewa), pemajakan terhadap penghasilan usaha/pekerjaan/kegiatan lainnya, pemajakan kegiatan pelayaran dan penerbangan, dlsb. |
Kamus Hukum dan Yurisprudensi, H.M. Fauzan
, 17/08/2018
Sebagai Kamus hukum dan yurisprudensi, Buku ini terbilang Lengkap dan mendetail sehingga bernapilan besar dan tebal. setiap arti kata diungkap menurut Bahasa, istilah dan penggunaan praktis dalam ranah hukum dan yurisprudensi sehingga menemukan relevanasi dan aktualiasasinya sebagai sebuah kamus istilah hukum membedakannya dengen istilah sejenis untuk penggunaan bidang lainnya. sebagai contoh, istilah Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu peraturan dan tidak pernah ada suatu peraturan, yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil dari peraturan dimaksud. Menurut kamus, istilah "batal demi hukum" yaitu pembatalan suatu perbuatan hukum berdasarkan undang-undang, yang berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap tidak pernah terjadi. dlsb.
|
Penemuan Hukum, Sudikno Mertokusumo
, 17/08/2018
Penemuan hukum (rechtvinding), menurut Sudikno bukanlah ilmu baru, melainkan ilmu klasik yang telah dipraktekan Oleh hakim, pembentuk peraturan PerUU dan para sarjana hukum untuk memecahkan masalah-masalah hukum sejak zaman belanda. Penemuan hukum merupakan kegiatan praktikal untuk memecahkan masalah hukum yang tidak ada aturannya secara telas dan tegas, sehingga memerlukan pendekatan ilmu hukum teoritikal dalam mengkonstatirnya. Selanjutnya, dibahas bahwa studi teoritikal hukum adalah kaedah yang lazim disebut peraturan. pergertian kaedah hukum meliputi; asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempiterno atau Nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan erat dengan sistem hukum. Kaedah hukum dalam arti sempit merupakan nilai yang bersifat lebih konkrit daripada asas hukum. Sebagai contohnya, kaedah atau nilai yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP; "barangsiapa mengambil barang orang lain dengan jalan melawan hukum, dihukum karena …", ialah bahwa mencuri itu tidak baik; seyogyanya jangan mencuri (suatu penilaian).
Sementara asas hukum yang bersifat abstrak itu pada umumnya tidak dituangkan dalam peraturan pasal yang konkrit. Misalnya, "point d'interest point d'action (siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan), "restitutio in integrum" (pengembalian kepada keadaan semula), "in dubio pro reo" (dalam hal keragu-raguan hakim harus memutuskan sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa), "res judicata pro veritate habetur" (apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar), "setiap orang dianggap tahu akan undang-undang", "perlindungan terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik". Namun demikian, ada pula asas hukum yang dituangkan dalam peraturan konkrit atau pasal. Beberapa contohnya adalah; "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali' (Pasal 1 ayat 1 KUHP), "presumption of innocence' (Praduga tidak bersalah, Pasl 8 UU No. 4 tahun 2004), "exceptio non adimpleti contractus" (tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi, Pasal 1266 KUHPerdata), "audi et alteram partem" (kedua belah pihak harus didengar, Pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004), "actio paulina" (Pasal 1341 KUHPerdata), "lex specialis derogate legi generali" (bila terjadi konflik antara UU yang khusus dengan UU yang umum, maka yang khusus yang berlaku, Pasal 1 KUHD), "lex superior derogate legi inferiori" (bila terjadi konflik antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, maka yang lebih tinggilah yang harus didahulukan, Pasal 4 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000. Meski ada asas hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, namun sebagai asas hukum yang bersifat abstrak, sekalipun telah dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, tidak dapat langsung diterapkan kepada peristiwa konkrit, sehingga membuka kemungkinan penyimpangan ataupun pengecualian yang membuat system hukumnya bersifat luwes (tidak kaku). Misalnya, penerapan asas "lex superior derogate legi inferiori" pada PP No. 45 tahun 1990 yang terdapat ketentuan yang bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974. Tetapi dalam prakteknya, PP No. 45 tahun 1990 yang dimenangkan dengan pertimbangan bahwa "kepastian hukum" harus mengalah terhadap "kepentingan yang lebih luhur". Tidak jarang terjadi konflik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kalau kita terlalu berpegang pada kepastian hukum, maka keadilan atau kemanfaatannya dikorbankan. Kalau kita terlalu berpegang pada kemanfaatan, maka keadilan dan kepastian hukumnya dikorbankan dan begitu selanjutnya. |
Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Penyusunan (Buku 2), Maria Farida Indrati S.
, 02/12/2017
Dalam buku ini (kelanjutan dari buku sebelumnya, ilmu perundang-undangan 1; Jenis, fungsi dan materi muatan), lebih difokuskan pada proses dan teknik pembentukan/rancangan suatu peraturan perundang-undangan (Rancanangan atas UU, PERPU, PP, PERPRES, dan PERDA). Dengan mengacu pada UU 12/2011, terdapat syarat atau keharusan pada peraturan perundang-undangan untuk menerapkan asas tertentu dalam pembentukan maupun dalam materi muatannya. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Sementara materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain mencerminkan asas dalam pembentukan dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain; (i) dalam Hukum Pidana, misalnya; asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan; asas pembinaan narapidana; dan asas praduga tak bersalah; (ii) dalam Hukum Perdata, misalnya; dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan; kebebasan berkontrak; dan itikad baik. Melihat dari bunyi pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengacu pada berbagai asas di atas, termasuk pula dalam pembentukan sebuah undang-undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam merumuskan suatu ketentuan pidana.
sebagai contoh proses pembentukan UU dalam buku ini dijelaskan bahwa; Undang-undang mulai berlaku dan baru mempunyai kekuatan mengikat untuk umum (algemeene verbindende voorschiften) pada saat diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam didalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengundanganya dilakukan dengan cara menerbitkan naskah undang-undang tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI), dan naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI). Media LN dan TLN itu berfungsi sebagai media pengumuman kepada masyarakat luas tentang berlakunya suatu undang-undang. Selanjutnya, PERPU dibentuk Presiden tanpa harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR merupakan bentuk kewenangan Presiden secara atribusian (legislative act, legislator), agar Presiden dapat mengambil tindakan cepat jika keadaan negara membutuhkannya dengan mendesak. Berbeda dengan kewenangan Presiden lainya yang dapat membentuk peraturang perundang-undangan secara delegasian (executive act, regulator) yang derajatnya dibawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Oleh karena antara UU dan PERPU mempunyai kedudukan yang sama, maka DPR sebagai legislator tetap mempunyai hak control terhadap terhadap PERPU, sebab dalam persidangan berikutnya DPR akan dimintai persetujuannya, dengan akibat bahwa jika DPR tidak menyetujui maka PERPU itu harus dicabut. Jika DPR menyetujui maka PERPU itu diberi bentuk (dijadikan) UU dan diundangkan sebagaimana mestinya. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. PP sebagai produk hokum dari Presiden selaku regulator yang dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang berisi ketentuan-ketentuan untuk menjalankan suatu UU sebagaimana mestinya. Atau dengan kata lain, materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, PP bukanlah suatu peraturan yang berdiri sendiri (otonom), sebab PP dibuat untuk melaksanakan UU yang telah ada sebelumnya, sehingga tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan PP sebelum ada undang-undangnya. Undang-undang selalu mendahului PP, dan PP hanya dapat dibentuk atas dasar perintah undang-undang (delegated regulation). Demikian seterusnya yang dibahas mendetail secara teknis prosedural sesuai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, mencakup prose perancangan, persiapan, pembahasan, pengesahan dan penyebarluasannya. |
Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, Timbul Hamonangan Simanjuntak, Imam Mukhlis
, 21/09/2017
Peraturan perundang-undangan perpajakan mempunyai sifat dinamis dan progresif nampak dari substansi hukumnya, dimana unsur pajak itu terkait langsung dengan kompleksitas eksistensi hukum dalam hubungannya dengan ekonomi dan bisnis serta pembangunan ekonomi yang cenderung berjalan cepat (dinamis) sehingga memerlukan pendekatan hukum yang progesif dalam rangka menciptakan system ekonomi sebagai tatatan social yang mandiri dan adil harus didukung oleh hukum yang berwatak progresif. Kebutuhan hal ini dikarenakan mengingat aspek perpajakan dalam perekonomian memiliki dimensi yang luas, salah satunya adalah untuk efisiensi ekonomis atas pengenaan pajak. Pajak dapat mengurangi kesejahteraan konsumen baik secara langsung melalui pengalihan sumber daya dari rakyat ke negara yang mengakibatkan direct income effect maupun secara tidak langsung melalui peningkatan harga atas barang/komoditi yang dikenakan pajak yang mengakibatkan substitution effect mengikuti perubahan harga yang terjadi.
Ulasan dalam buku ini bersifat aplikatif dan systematic dengan dilengkapi berbagai hasil kajian/penelitian di berbagai negara menyangkut dimensi ekonomi perpajakan dalam pembangungan ekonomi suatu negara. Dalam konteks ini, dijelaskan kebutuhan dan dampak dari adanya pengenaan pajak dalam ekonomi makro; mengukur efisiensi terkait dengan perimbangan keuangan serta implikasinya terhadap penerimaan/pengeluaran pemerintah di satu sisi dengan tingkat kesadaran dan kepatuhan warga dalam membayar pajak serta pengaruhnya tujuan negara dalam mewujudkan kesejahteraan hidup bersama. Dalam konteks ini pula, kita diberi penjelasan penyeimbang akan pentingnya kebijakan fiskal. Karena bagaimanapun juga, Pajak merupakan beban yang bersifat mengurangi pendapatan individu, daya beli seseorang, kesejahteraan individu, serta mengubah pola hidup dan pola konsumsi individu. Sedangkan dari sisi ekonomi makro, pajak merupakan pendapatan bagi pemerintah (penerimaan negara) tanpa menimbulkan kewajiban negara untuk memberikan kontra-prestasi langsung kepada WP yang bersangkutan secara individual dan hasil pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan rutin demi kelangsungan negara. Uang pajak yang diterima Pemerintah dikeluarkan lagi ke masyarakat untuk membiayai kepentingan umum masyarakat, sehingga berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi makro. Pajak dapat mempengaruhi harga, kondisi dan stabilitas pasar, tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja dan seterusnya yang menggambarkan bahwa pada intinya pengeluaran pemerintah kepada masyarakat mempunyai dampak multiplier ekonomis yang sangat besar, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan pengetahuan ilmu ekonomi. Pajak yang dimaksud adalah semua jenis pajak baik pajak langsung maupun tidak langsung, pajak pusat maupun daerah, termasuk bea masuk dan cukai dipungut oleh Negara melalui pejabat yang berwenang baik pemerintah pusat maupun daerah, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
1 2 3 4 5 6 7 8 » |