Ulasan
terima kasih, semua buku yang saya pesan sangat membantu saya, hanya saja proses pengirimannya yang terlambat. Harapan saya semoga pengiriman buku sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
1 dari 1 orang menilai cukup membantu | Apakah ulasan ini membantu? | Ya Tidak |
|
Penemuan hukum (rechtvinding), menurut Sudikno bukanlah ilmu baru, melainkan ilmu klasik yang telah dipraktekan Oleh hakim, pembentuk peraturan PerUU dan para sarjana hukum untuk memecahkan masalah-masalah hukum sejak zaman belanda. Penemuan hukum merupakan kegiatan praktikal untuk memecahkan masalah hukum yang tidak ada aturannya secara telas dan tegas, sehingga memerlukan pendekatan ilmu hukum teoritikal dalam mengkonstatirnya. Selanjutnya, dibahas bahwa studi teoritikal hukum adalah kaedah yang lazim disebut peraturan. pergertian kaedah hukum meliputi; asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempiterno atau Nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan erat dengan sistem hukum. Kaedah hukum dalam arti sempit merupakan nilai yang bersifat lebih konkrit daripada asas hukum. Sebagai contohnya, kaedah atau nilai yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP; "barangsiapa mengambil barang orang lain dengan jalan melawan hukum, dihukum karena …", ialah bahwa mencuri itu tidak baik; seyogyanya jangan mencuri (suatu penilaian).
Sementara asas hukum yang bersifat abstrak itu pada umumnya tidak dituangkan dalam peraturan pasal yang konkrit. Misalnya, "point d'interest point d'action (siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan), "restitutio in integrum" (pengembalian kepada keadaan semula), "in dubio pro reo" (dalam hal keragu-raguan hakim harus memutuskan sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa), "res judicata pro veritate habetur" (apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar), "setiap orang dianggap tahu akan undang-undang", "perlindungan terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik".
Namun demikian, ada pula asas hukum yang dituangkan dalam peraturan konkrit atau pasal. Beberapa contohnya adalah; "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali' (Pasal 1 ayat 1 KUHP), "presumption of innocence' (Praduga tidak bersalah, Pasl 8 UU No. 4 tahun 2004), "exceptio non adimpleti contractus" (tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi, Pasal 1266 KUHPerdata), "audi et alteram partem" (kedua belah pihak harus didengar, Pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004), "actio paulina" (Pasal 1341 KUHPerdata), "lex specialis derogate legi generali" (bila terjadi konflik antara UU yang khusus dengan UU yang umum, maka yang khusus yang berlaku, Pasal 1 KUHD), "lex superior derogate legi inferiori" (bila terjadi konflik antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, maka yang lebih tinggilah yang harus didahulukan, Pasal 4 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000. Meski ada asas hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, namun sebagai asas hukum yang bersifat abstrak, sekalipun telah dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, tidak dapat langsung diterapkan kepada peristiwa konkrit, sehingga membuka kemungkinan penyimpangan ataupun pengecualian yang membuat system hukumnya bersifat luwes (tidak kaku). Misalnya, penerapan asas "lex superior derogate legi inferiori" pada PP No. 45 tahun 1990 yang terdapat ketentuan yang bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974. Tetapi dalam prakteknya, PP No. 45 tahun 1990 yang dimenangkan dengan pertimbangan bahwa "kepastian hukum" harus mengalah terhadap "kepentingan yang lebih luhur". Tidak jarang terjadi konflik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kalau kita terlalu berpegang pada kepastian hukum, maka keadilan atau kemanfaatannya dikorbankan. Kalau kita terlalu berpegang pada kemanfaatan, maka keadilan dan kepastian hukumnya dikorbankan dan begitu selanjutnya.
| Apakah ulasan ini membantu? | Ya Tidak |
|