Tweet |
|
Harga: Rp150.000
|
Jihad sering dimaknai sebagai perang dan sejalan dengan itu, syahid juga dimaknai sebatas dalam konteks militer. Buku ini membahas konsep jihad dan syahid dalam konteks yang lebih universal dan lebih kekinian, bukan sebatas konteks sosial-politik ketika konsep itu dirumuskan. Konsep-konsep tentang jihad dan syahid pun ditelaah ulang dan didekonstruksi.
Kalangan Islam radikal telah mengampanyekan tafsir mereka terhadap konsep ini untuk mengangkat oposisi politik terhadap lawan-lawan politik mereka. Afsaruddin menunjukkan bahwa pelbagai kemungkinan tafsir atas jihad dan syahid menggugat tafsir politik dan militan dari kalangan radikal. Kampanye menggebu dari tafsir-tafsir radikal ini membawa implikasi serius terhadap dunia kontemporer kita.
Bahasa Al-Quran bukan hanya sebagai cara berbicara dan berkomunikasi, tetapi juga "cara berpikir" dan mengungkapkan "pandangan-dunia" yang dibangun. Keduanya dikonstruksi melalui konteks sejarah, audien, dan relasi budaya pada saat gagasan-gagasan Al-Quran dikomunikasikan. Memahami pesan terdalam Al-Quran dengan demikian selaiknya memahami cara berpikir dan pandangan dunianya. Sebab, bila tidak, kita akan terjebak pada skripturalitas teks dan gagal menghayati pesan utamanya. Kajian yang Asma Afsaruddin tentang makna jihad dan syahid dalam Al-Quran dalam buku ini sugguh menarik. Dalam perspektif paradigma tafsir, ia menelusuri "pandangan dunia" Al-Quran melalui konteks sejarah, audien (ketika Al-Quran diturunkan) dan karakteristiknya dengan mempertimbangkan evolusi dan perkembangan makna dari istilah-istilah kunci yang dipakai Al-Quran. Simpulan-simpulan yang diberikan Asma Afsaruddin dalam buku ini mengingatkan kita bahwa perkembangan makna dari suatu kata kunci selaiknya selalu selaras dengan pesan ideal Al-Quran.
- Islah Gusmian
Dosen Ilmu Tafsir, IAIN Surakarta
Para sarjana Muslim dan Barat modern cenderung memahami jihad secara sosio-legal, sehingga ia lebih dimaknai sebagai tindak kekerasan, dan menjustifikasi kemartiran (kesyahidan) dalam jihad secara teologis-eskatologis. Akibatnya, keduanya sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindak kekerasan oleh kaum radikal.
Berbeda dengan mereka, Asma Afsaruddin memahami secara diakronis kedua istilah kunci itu. Profesor Muslim perempuan ini menelusuri dinamika perkembangan makna jihad dalam sinaran sejarah dan politik yang mengantarainya, dan tidak hanya menilai pemaknaan umum kedua istilah itu sebagai sesuatu yang baru muncul belakangan di era Umayyah dan Abasiyah, yang jauh dari maksud al-Qur’an yang sebenarnya. Berbarengan dengan itu, pengarang memaknai ulang istilah-istilah yang bertalian dengan keduanya, seperti qital dan harb, sembari menampilkan betapa pentingnya istilah kunci lainnya yang sebenarnya masih bertalian dengan jihad namun kerap terlupakan, yakni sabar (al-shabr).
- Dr. Aksin Wijaya
Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo
Berkembangnya gambaran buruk tentang Islam sebagai agama kekerasan dan teror di Barat itu, walau disesalkan, wajar belaka, karena pemahaman seperti itu memang berkembang di kalangan Muslim radikal dalam memahami konsep jihad dan syahadah. Yang keliru adalah menganggap bahwa itulah konsep Islam tentang hubungan Muslim dan non-Muslim, dan itulah pemahaman yang benar. Asma Afsaruddin menunjukkan, dengan merujuk kepada literatur keislaman lintas disiplin yang kaya, dari awal Islam sampai kontemporer, bahwa pemahaman seperti itu reduksionis, manipulatif dan menyesatkan, karena mengaburkan makna substantif doktrin itu. Tanpa mengabaikan salah satu makna jihad sebagai perang (qital) dalam konteks defensif tertentu, pemahaman yang holistik tentang jihad, yang harus disandingkaitkan dengan konsep sabr (kesabaran), justru melahirkan pandangan bahwa menjadi orang beriman adalah menjadi pejuang perdamaian dan penyebar rahmat Allah di muka bumi ini. Itulah "jalan Allah" (sabil Allah), yakni jalan damai dan rahmat semesta, bukan jalan kekerasan dan teror. Inilah makna terpenting dari kehadiran buku ini.
- Moch. Nur Ichwan, Ph.D.
Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
H.A. Djazuli | Supani | Jajang Suryana | Nashr Farid Muhammad Washil | Siah Kosyiah |