Sinopsis
Sukarno adalah sosok Presiden RI pertama cum diplomat yang selalu percaya diri, anti minder, dan tidak bisa didekte oleh pemimpin negara manapun. Tulang punggungnya terlalu keras untuk menunduk dan patuh kepada pemimpin negara manapun. Gaya diplomasinya high profile, tegas, namun cantik. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi dan kecerdikan diplomasinya, pemimpin Amerika Serikat seringkali ciut dan ‘mengelus dada’ menghadapinya. Ia lantang menolak mentah-mentah bantuan dari Amerika Serikat dan berteriak "Persetan dengan bantuanmu! Lautan dolar tak akan dapat merebut hati kami." Sukarno adalah pemimpin muslim dunia pertama yang vokal memperjuangkan kemerdekaan Palestina. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa indonesia berdiri menantang penjajahan israel!”. Di mana pun Bung Karno berkunjung, tak pernah lupa menyerukan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kepiawaian diplomasinya mampu mengatasi segala gangguan dari luar yang berupaya menggerogoti kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedaulatan Indonesia adalah harga mati baginya.
Beragam kunjungannya ke luar negeri membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang disegani dan selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan kosmopolit, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan, pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan, menjadikan Bung Karno selalu menjadi tamu agung terpenting. Setiap kunjungan kenegaraan ke berbagai negaranya selalu menjadi headline berita. Nama Bung Karno ‘mendunia’. Ia bukan hanya milik Indonesia, namun telah menjadi milik dunia. Ketokohannya dan pemikiran-pemikirannya telah mengubah dunia, memberikan sumbangsih bagi peradaban manusia. Tidak berlebihan jika sekiranya banyak yang mengatakan bahwa dunia dalam genggamannya. Buku ini memotret sepak terjang diplomasi Bung Besar yang belum banyak tersiar.
“Saya yakin buku ini akan bermanfaat bagi para scholar dan pemerhati sejarah diplomasi Indonesia. Buku ini secara komprehensif memaparkan kisah hubungan Presiden Pertama RI, Sukarno dengan para pemimpin dunia. Dalam buku ini juga mengulas sisi-sisi persahabatan, kedekatan personal, ideologi serta sekilas ‘diplomasi cantik’ yang dilakukan Sukarno dalam berhubungan dengan para pemimpin dunia yang kami nilai sangat positif untuk diketahui oleh khalayak umum.”
—Retno L.P. Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
“Kita telah mengenal Bung Karno sebagai Bapak Bangsa yang gigih berjuang, sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang menakjubkan, sebagai pembela kaum Marhaen yang setia, sebagai singa podium yang piawai menyihir ribuan pendengarnya, dan sebagainya. Buku ini mengingatkan kita bahwa dia adalah juga seorang diplomat ulung yang tiada taranya di dunia, sekaligus seorang pribadi yang hangat yang mudah bersahabat dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja. Banyak tokoh internasional dari John F. Kennedy dan Nikita Khrushchev hingga Jawaharlal Nehru, Norodom Sihanouk, Gamal Abdel Nasser dan Paus Yohanes XXIII semuanya merasa sangat senang bertemu dan bersahabat dengan Bung Karno. Di tengah pandangan dunia yang miring waktu itu atas negara-negara yang baru merdeka, Bung Karno berhasil menunjukkan bahwa Indonesia mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu sayang sekali bahwa pada akhir hidupnya ia justru dijungkalkan dari kekuasaan oleh sekelompok orang dari bangsanya sendiri, dan meninggal dalam status sebagai seorang tahanan politik.”
—Baskara T. Wardaya SJ, Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, penulis buku Bung Karno Menggugat (2007) dan Cold War Shadow (2007)
“Membaca buku Dinda Sigit Aris Prasetyo, sontak hati mongkok demi mengenang kejayaan diplomasi negeri kita di era kepemimpinan Presiden Sukarno. Dia sungguh merupakan sosok pemimpin kelas dunia. Pertanyaannya,"mengapa Bung Karno bisa 'menggenggam' dunia?" Jawabnya, justru karena menjalankan amanat konstitusi. Ia mendudukkan Indonesia berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan negara lain. Ia menjalankan politik bebas-aktif secara konsisten. Bukankah itu sebuah teladan baik yang mestinya dilanjutkan oleh presiden-presiden selanjutnya?”
—Roso Daras, Ketua Pembina Yayasan Aku dan Sukarno, penulis buku bestseller Total Bung Karno 1 & 2
“Bung Karno percaya hubungan pribadi antarpemimpin berpengaruh pada pergaulan internasional. Itulah yang ia lakoni ketika membidani Konferensi Asia-Afrika 1955 dan Gerakan Nonblok awal 1960-an. Bung Karno manusia biasa yang menghargai persahabatan, itulah intisari yang diceritakan buku ini.”
—Budiarto Shambazy, Wartawan Senior
“Duta besar keliling Indonesia, Ibu Supeni pernah kebingungan ketika Bung Karno memintanya mengirim surat kepada Presiden Mali, Modibo Keita. Isi surat itu hanya mengatakan bahwa Presiden Indonesia, Sukarno meminta buah mangga. Bung Karno sudah mendengar bahwa buah mangga dari Mali besar-besar, enak, dan halus dagingnya. Ibu Supeni agak grogi, bagaimana mungkin dia mengirim surat kepada kepala negara dari negara lain, hanya untuk minta mangga. Apakah Modibo Keita akan percaya? Jangan-jangan hanya dianggap lelucon saja. Tapi akhirnya surat itu dikirim juga, dan selanjutnya Presiden Mali mengirim mangga kepada Presiden Indonesia.
Diplomasi luar negeri yang kerap dijalankan Bung Karno, tidak melulu berupa diplomasi normatif yang kaku. Banyak pendekatan yang justru dipengaruhi hal-hal personal, sehingga meminta mangga salah satu bentuk kepercayaan di antara sahabat. Tidak heran, karena Bung Karno adalah seorang humanis yang kental. Hubungan dengan rakyat, pengawalnya, lawan politiknya, termasuk kepala negara lain dalam bingkai kemanusiaan, Bung Karno menemparkan sebagai seorang sahabat. Tulisan Bung Karno di Suluh Indonesia Muda, 1926 sudah menjelaskan:’Buat saya maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia.’ Hal ini yang membuat Bung Karno dengan ringannya meminta mangga. Ia juga tanpa beban memerintahkan duta besarnya untuk memanggil Kaisar Ethiopia atau Raja Saudi agar datang ke kursinya, dalam Konferensi Nonblok I tahun 1962 di Beograd. Kepercayaan dirinya yang luar biasa membuat dia dengan mudah berinteraksi, sekaligus menempatkannya sebagai center of universe.
Membaca buku Dunia Dalam Genggaman Bung Karno, kita paham bahwa Bung Karno adalah orang besar, di mana salah satu syaratnya selain memiliki negara besar, pemikiran besar, dia juga harus diakui sebagai pemimpin besar oleh negara-negara lain. Jarang ditemui seorang pemimpin memiliki karisma seperti Bung Karno. Inilah yang memuat Bung Karno besar di mata Asia Afrika, karena pemikirannya telah memberikan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Asia Afrika. Bahkan suara Bung Karno paling keras menyerukan hubungan baik antar semua bangsa atas dasar kemerdekaan serta perdamaian tanpa eksploitasi. Dengan membaca sejarah, kita paham bahwa Indonesia adalah negara besar dalam pergaulan antar bangsa. Indonesia dihormati karena pemikirannya. Sayangnya cita-cita Bung Karno belum tecapai sepenuhnya, seperti perdamaian dunia. Namun itu menjadi tanggungjawab kita, seperti kata Bung Karno: ‘hanya bangsa yang berjalan terus yang akan menjadi besar.’”
—Iman Brotoseno, penulis dan sutradara film, Sukarnois
“Buku tentang Presiden Sukarno jumlahnya ribuan dari segala sudut kehidupannya dalam berbagai bahasa dan tersebar di berbagai negara. Penerbitan buku Dunia Dalam Genggaman Bung Karno merupakan buku khusus yang mengungkap penerobosan Bung Karno ke seantero negara dengan cara merangkul tokoh-tokoh dunia. Sampai saat ini belum ada seorang Presiden pun di dunia ini yang mampu berperan sebagaimana yang dilakukan Bung Karno. Hampir dua pertiga negara di dunia ini dikunjungi Bung Karno, namun tidak termasuk Belanda. Kenapa? Bung Karno tidak bersedia ke Belanda, karena beliau ingin Ratu Juliana lebih dulu datang ke Indonesia, untuk melihat kebangkitan bangsa Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun. Bung Karno juga menolak berkunjung ke London, karena Dubes RI Mr. Soenario melaporkan, Bung Karno akan dijemput Perdana Menteri Harold Macmillan di Bandara Heathrow. Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Bung Karno ingin Ratu Elizabeth yang menjemputnya.”
—Eddi Elison, penulis buku Ketawa Bareng Bung Besar