Sinopsis
Manusia adalah cerita. Setiap manusia adalah cerita bagi dirinya sendiri dan orang lain. Jauh sebelum cerewetnya radio, bisingnya televisi, dan sibuknya Internet, manusia menceritakan ceritanya kepada manusia lain dengan bertatap muka. Melalui cerita, dulu manusia menyampaikan peristiwa nyata, kenangan sejarah, hubungan kekeluargaan, dan sebagai hiburan. Manusia menggunakan cerita untuk menyampaikan nilai-nilai kepada anak serta mengajari cara hidup dan bertahan hidup. Jauh sebelum tulisan ditemukan, satu-satunya komunikasi manusia adalah komunikasi lisan. Itulah mengapa cerita merupakan budaya paling purba yang dimiliki manusia.
Saat ini cerita telah menjadi salah satu bagian formal pendidikan dini dan pendidikan dasar. Dunia industri juga menggunakan cerita sebagai teknik membangun merek dan menjual produk. Untuk itulah, banyak sekolah, Lembaga, dan perusahaan yang tidak lagi ragu mengirimkan guru dan karyawannya untuk mengikuti pelatihan bercerita. Banyak penelitian yang menggali manfaat cerita bagi manusia dan terus memodifikasi tekniknya. Di dalam berbagai hasil penelitian, cerita disebutkan memiliki fungsi yang sangat baik untuk pengembangan keaksaraan, kepribadian, kesadaran sosial, pengaturan emosi, dan kreativitas. Di dunia pendidikan, saat ini cerita telah bermetamorfosa sebagai teknik yang melintas batas disiplin keilmuan. Metode bercerita dianggap efektif untuk meningkatkan pemahaman dan kualitas akademik siswa dalam berbagai disiplin ilmu. Singkatnya, bercerita telah menjadi primadona di dunia pendidikan. Cerita tidak lagi identik dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, tetapi semua mata pelajaran. Cerita juga menjadi senjata perusahaan dalam bentuk marketing storytelling.
Melalui buku ini, penulis mencoba menjelaskan cerita dalam perspektif psikologi. Pada bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan perspektif psikologis cerita serta bagaimana cerita dan bercerita dilihat dari perspektif ilmu saraf (neuroscience). Selain bukti-bukti ilmiah terkait cerita, buku ini juga menyajikan cara-cara praktis bercerita. Sekali lagi, ini bukan masalah bagaimana menjadi pendongeng profesional yang mampu menirukan suara-suara aneh atau membuat gerakan ekspresif yang lucu, tetapi mengenai bagaimana orang tua dan guru mampu bercerita yang menarik dengan cara-cara sederhana.
Bab selanjutnya adalah tentang bagaiaman kita sebagai orang tua mampu mendorong anak-anak untuk berani bercerita. Sekali lagi ini bukan terkait kompetensi yang dipersiapkan untuk mengikuti kompetisi bercerita, melainkan membiasakan anak-anak untuk mampu menyusun narasi dengan baik saat menghadapi peristiwa apa pun dalam hidupnya.
Buku ini diakhiri dengan bahasan terkait cerita tradisional, pembelajaran lingkungan, dan bagaimana menyampaikan materi sekolah melalui cerita. Harapannya melalui buku ini semakin banyak guru yang tertarik menggunakan pendekatan bercerita dalam menyampaikan materi pelajaran. Orang tua juga mampu mendampingi anak-anaknya saat belajar di rumah. Dengan demikian, guru akan serasa menjadi orang tua dan sebaliknya.