Sinopsis
Ini persamaan hidupku sekarang, Bu, Desi menyodorkan buku catatan ke tengah meja. Bu Amanah, yang juga guru matematika, tersenyum getir melihat persamaan garis lurus dengan variabel-variabel yang didefinisikan sendiri oleh Desi, x1: pendidikan, x2: kecerdasan. Yang menarik perhatiannya adalah konstanta a: pengorbanan.
“Pendidikan memerlukan pengorbanan, Bu. Pengorbanan itu nilai tetap, konstan, tak boleh berubah”Konon, berdasarkan penelitian antah berantah, umumnya idealisme anak muda yang baru tamat dari perguruan tinggi bertahan paling lama 4 bulan. Setelah itu mereka akan menjadi pengeluh, penggerutu, dan penyalah seperti banyak orang lainnya, lalu secara menyedihkan terseret arus deras sungai besar rutinitas dan basa-basi birokrasi lalu tunduk patuh pada sistem yang buruk.
Dalam kenyataan hidup seperti itu, seberapa jauh Desi berani mempertahankan idealismenya menjadi guru matematika di sekolah pelosok?
Ulasan
Kita bisa menemukan banyak novel yang mengangkat kisah guru. Ada beberapa judul, seperti Guru, Hidupmu Hanya Untuk Kami (2013). Karya prosa yang ditulis oleh Eidelweis Almira itu, berisi 37 cerita pendek mengenai kisah perjuangan guru yang mengajar di pedalaman.
Kemudian ada juga cerita tentang Guru Para Pemimpi (2014). Ceritanya juga berangkat dari kisah nyata novel di atas. Hadi Surya yang menulis novel ini. Kisahnya berkisar tentang perjuangan guru yang mengajar anak-anak di kampung pedalaman.
Meski temanya sama, novel Guru Aini (2020) lebih punya tema khas: ihwal guru matematika. Selain itu, novel yang digubah Andrea Hirata ini juga tidak berdasarkan kisah nyata. Meski latar belakang ceritanya tetap sama, tidak lepas dari “orang pedalaman”.
Kisah orang-orang pedalaman yang kerap ada di novel “guru” tersebut memberi tanda pada kita bahwa pembangunan bangsa tidak merata. Atau jangan-jangan, hanya upaya orang-orang kota saja yang menganggap mereka terbelakang, yang solusinya harus sekolah seperti mereka?
Pertanyaan tersebut bisa dijawab bila definisi pembangunan dan kata terbelakang itu sudah jelas.
Perhatian pada orang-orang pedalaman ini melahirkan satu bingkai tentang guru. Bahwa guru yang layak disebut heroik adalah yang mengabdi di desa-desa tertinggal. Sebagaimana yang ada dalam imajinasi tokoh utama pada novel ini.
Saya bilang begini bukan untuk menafikan kesengsaraan guru di pedalaman. Sebagaimana yang digambarkan dalam Sokola Rimba, misalnya. Sepakat, kenyataan di pedalaman begitu pahit, bahkan sebelum merasakannya. Jarak sekolah jauh dengan tempat tinggal, bangunan sekolah nyaris roboh, dan lain-lain.
Selengkapnya: https://resensie.com/ambisi-untuk-mendidik/
| Apakah ulasan ini membantu? | Ya Tidak |
|