Tweet |
|
Alkisah, seorang bocah laki-laki terlahir di kampung Sait Nihuta, Silindung, di tahun 1871, ketika kawulanya masih memeluk agama suku. Dia diberi nama Pamasa Uhum, yang mengandung makna "si Pemelihara atau Pembuat Hukum". Dalam usia remaja, ayah-bunda beserta semua adik-kakaknya meninggal dunia dalam sapuan epidemi sporadik yang melanda Tanah Batak.
Dalam usia sepuluh tahun, Pamasa Uhum ditemukan oleh Zending Nommensen, dan membaptisnya dengan nama Lamsana. Dia segera bertumbuh menjadi guru-zending, dan hulp-zendeling, alias pendeta-pribumi, dari angkatan ke-V, pada tahun 1899. Pelayannanya segera berkembang, yang membuat iri hati rekan-rekannya, termasuk oleh beberapa zendeling atasannya. "Benturan" yang banyak dialaminya, telah membawanya menggabung dengan misi Methodist Episcopal Church dari Amerika. Dia menjadi revered Methodist pertama dari kalangan orang Batak, dan guru seminari di Singapura, Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta), dari tahun 1910-1921.
Di usia uzur, dia memilih pulang ke "bona ni pinasa", dan menciptakan lagu masterpiece-nya berjudul ARGA DO BONA NI PINASA, yang mengandung kadar-tinggi nasionalisme, dan membuatnya berurusan dengan polisi rahasia kolonial. Atas perkenan keluarga-besarnya, judul lagu ciptaannya itulah yang digunakan menjadi judul buku ini.
"Membaca biografi dan berita pelayanan keperintisan Pdt. Lamsana Lumbantobing, kita mendapat kesan bahwa dia adalah seorang intelektual, seniman, berjiwa independen, nasionalis, berwawasan global, rohaniawan, cinta adat dan masyarakat Batak, kebarat-baratan, dan banyak predikat lainnya. Saya sangat menyambut terbitnya buku ini, dan merekomendasikannya kepada segenap warga GMI, bukan saja hanya sebagai bahan yang sangat kaya informasi historis, tapi juga untuk menjadi bagian dari perayaan Ulang Tahun ke-100 (centennial celebration) misi Methodist di Indonesia yang akan dirayakan pada tahun 2005."
Pdt. Dr. Richard M. Daulay, Teolog/Sejarawan GMI dan Wakil Sekretaris Umum PGI
Rene Wellek | Emha Ainun Nadjib | Rahayu Surtiati Hidayat | Judith Schlehe | Jacobus Ranjabar |