Tweet |
Topik:
|
Peran Keluarga dan Teman dalam Membentuk KebiasaanOleh Belbuk.com, 13/03/2025
![]() Laszlo Polgar, seorang laki-laki Hungaria, adalah sosok yang memiliki keyakinan kuat tentang kerja keras. Ia menolak sama sekali tentang bakat bawaan. Ia berpendapat dengan latihan yang serius dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan latihan yang serius dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik, seorang anak dapat menjadi genius dalam bidang apa pun. Mantranya adalah "Seorang genius tidak dilahirkan, tapi merupakan hasil pendidikan dan pelatihan." Advertisement:
Laszlo begitu yakin dengan gagasan ini sehingga ia mengujinya dengan anak-anaknya sendiri. Laszlo memutuskan catur sebagai bidang yang tepat untuk eksperimen itu, jadi ia membuat rencana untuk membesarkan anak-anaknya menjadi juara catur. Anak-anaknya belajar di rumah, sesuatu yang langka di Hungaria kala itu. Rumahnya diisi dengan buku-buku catur dan gambar-gambar pemain catur terkenal. Anak-anak akan saling bertanding secara terus-menerus dan mengikuti turnamen-turnamen terbaik yang dapat mereka temukan. Keluarga itu akan membuat sistem arsip yang cermat tentang sejarah turnamen setiap lawan yang dihadapi anak-anak itu. Hidup mereka akan diabadikan untuk catur.
Laszlo dan istrinya Klara menjadi orangtua bagi tiga anak perempuan mereka, yaitu Susan, Sofia, dan Judit. Susan, yang paling besar, mulai bermain catur ketika berusia empat tahun. Hanya enam bulan, ia berhasil mengalahkan pemain dewasa. Sofia, anak tengah, lebih hebat lagi. Pada usia empat belas tahun ia menjadi juara dunia, dan beberapa tahun kemudian menjadi grandmaster. Judit, si bungsu, terbaik di antara ketiganya. Pada usia lima tahun ia mampu mengalahkan ayahnya. Pada usia dua belas tahun, ia pemain paling muda dalam daftar seratus pecatur terbaik dunia. Pada usia lima belas tahun empat bulan, ia menjadi grandmaster termuda sepanjang masa, lebih muda daripada Bobby Fischer, pemegang rekor sebelumnya. Selama 27 tahun, ia pecatur perempuan peringkat satu dunia. Masa kanak-kanak tiga bersaudari Polgar memang tidak umum. Namun, jika kita menanyakan kepada mereka, mereka mengaku cara hidup mereka menarik, bahkan sangat mereka nikmati. Dalam wawancara tiga bersaudari itu menggambarkan masa kanak-kanak mereka sebagai masa yang menyenangkan, bukan memberatkan. Mereka senang bermain catur. Mereka tidak pernah merasa cukup dalam kegiatan ini. Laszlo pernah bercerita tentang Sofia, yang ia dapati sedang bermain catur di kamar mandi pada tengah malam. Ia menasihati Sofia untuk tidur dengan berkata, "Sofia, tinggalkan catur itu!" Namun Sofia menyahut, "Ayah, catur ini tidak ingin aku kesepian!" Tiga bersaudari Polgar tumbuh dalam budaya yang mengutamakan catur di atas segala hal lain - mendapat pujian karena kegiatan itu, mendapat ganjaran karena prestasi di bidang itu. Dalam dunia mereka, obsesi terhadap catur dianggap normal. Dan sebagaimana akan kita lihat, apa pun kebiasaan yang dianggap normal dalam kultur kita berpeluang menjadi perilaku paling menarik bagi kita. Bujuk Rayu Norma-Norma SosialKita tidak memilih kebiasaan di babak awal hidup kita, tetapi kita meniru. Kita seperti mengikuti naskah yang diberikan kepada kita oleh teman dan keluarga, oleh agama atau sekolah, oleh masyarakat di sekitar kita, dan oleh masyarakat di lingkungan yang lebih besar. Tiap kultur dan kelompok ini memiliki seperangkat harapan dan standar masing-masing: kapan dan di mana harus menikah, berapa banyak anak yang dilahirkan, hari raya yang harus dirayakan, berapa besar biaya untuk pesta ulang tahun anak. Dalam banyak hal, norma-norma sosial ini adalah aturan-aturan tak terlihat yang mengarahkan perilaku kita setiap hari. Kita selalu mengingatnya, bahkan meskipun bukan yang paling atas dalam pikiran kita. Sering kali kita mengikuti kebiasaan-kebiasaan dalam kultur itu tanpa berpikir, tanpa bertanya, dan terkadang tanpa mengingat. Seperti ditulis oleh filsuf Prancis Mchel de Montaigne, "Adat dan gaya hidup dalam masyarakat menyapu habis kita semua." Biasanya kita meniru kebiasaan dari tiga kelompok, yaitu yang akrab dengan kita, yang banyak, dan yang berkuasa. 1. Meniru Orang yang AkrabKeakraban memiliki pengaruh yang kuat pada perilaku kita. Ini berlaku untuk lingkungan fisik, tapi juga untuk lingkungan sosial. Kita meniru kebiasaan orang-orang di sekitar kita. Kita meniru cara orangtua kita menghadapi perbedaan pendapat, cara teman-teman kita berselingkuh, cara rekan-rekan kerja kita meraih kesuksesan. Ketika teman-teman kita mengisap ganja, kita cenderung mencobanya pula. Ketika istri kita mempunyai kebiasaan memeriksa ulang apakah pintu sudah terkunci sebelum tidur, kita juga menirunya. Sesuai aturan umum, makin akrab kita dengan seseorang, makin mungkin kita meniru beberapa kebiasaan mereka. Suatu kajian terobosan memantau dua belas ribu orang selama 32 tahun dan menemukan bahwa peluang seseorang mengalami kelebihan berat badan bertambah 57% bila ia mempunyai teman yang berat badannya berlebih. Ini juga berlaku untuk kebalikannya. Kajian lain menemukan bahwa jika seseorang yang berpacaran menjadi kurus, peluang pasangannya ikut menjadi kurus kira-kira 30%. Teman dan keluarga memberikan semacam tekanan tak terlihat yang menarik kita ke arah mereka. Tentu saja, tekanan dari orang sekitar buruk hanya jika kita dikelilingi oleh pengaruh-pengaruh yang buruk. Ketika astronaut Mike Massimino masih mahasiswa pascasarjana di MIT, ia mengambil mata kuliah robotika. Dari sepuluh orang yang mengambil mata kuliah itu, empat orang menjadi astronot. Begitu pula, kajian menemukan bahwa makin tinggi IQ sahabat kita pada usia sebelas atau dua belas tahun, makin tinggi IQ kita pada usia lima belas tahun, bahkan setelah dibandingkan dengan tingkat kecerdasan alami. Kita menyerap kualitas-kualitas dan kebiasaan-kebiasaan orang di sekitar kita. Satu hal paling efektif yang dapat dilakukan untuk membangun kebiasaan yang lebih baik adalah bergabung dengan kultur tempat perilaku yang kita inginkan dianggap perilaku yang normal. Kebiasaan-kebiasaan baru terkesan dapat diraih ketika kita melihat orang lain melakukannya setiap hari. Jika dikelilingi oleh orang-orang yang bugar, kita lebih mungkin memandang olahraga sebagai kebiasaan yang lazim. Bila berada di antara penggemar jazz, kita lebih mungkin percaya bahwa berlatih jazz setiap hari itu wajar. Kultur kita menentukan harapan kita tentang apa yang normal. Beradalah di antara orang-orang dengan kebiasaan yang ingin kita miliki. Kita akan tumbuh bersama. Agar kebiasaan kita lebih menarik lagi, kita dapat membawa strategi ini selangkah lebih jauh. Bergabunglah dengan kultur tempat perilaku yang kita inginkan dianggap sebagai perilaku normal dan kita sudah memiliki kesamaan dengan kelompok. Tidak ada yang lebih mendukung motivasi dibandingkan menjadi anggota kelompok. Kondisi itu mengubah proyek pribadi menjadi proyek bersama. Sebelumnya, kita berusaha sendiri. Identitas kita tunggal. Kita seorang pembaca. Kita seorang pemusik. Kita seorang atlet. Ketika bergabung dengan klub buku atau band atau perkumpulan penggemar bersepeda, identitas kita menjadi terkait dengan orang-orang di sekitar kita. Pertumbuhan dan perubahan tak lagi menjadi perjuangan individu. Kami pembaca. Kami pemusik. Kami penggemar bersepeda. Identitas bersama mulai memperkuat identitas pribadi kita. Ini sebabnya setelah meraih suatu sasaran, penting sekali untuk mempertahankan kebiasaan kita. Dalam hal ini pertemanan dan komunitas menanamkan identitas baru serta memudahkan perilaku bertahan dalam jangka panjang. 2. Meniru Orang BanyakSetiap kali tidak yakin bagaimana harus bertindak, kita mencermati reaksi kelompok untuk memandu perilaku kita. Kita terus memantau lingkungan kita sambil bertanya-tanya, "Apa yang dilakukan oleh semua orang lain?" Kita memeriksa ulasan di Amazon dan Yelp atau TripAdvisor karena ingin meniru kebiasaan belanja, makan, dan wisata yang paling baik. Biasanya ini strategi yang cerdas. Ada banyak bukti untuk itu. Namun, bisa juga ada sisi buruknya. Perilaku normal kelompok sering kali mengalahkan perilaku yang diinginkan oleh perorangan. Sebagai contoh, studi menemukan bahwa ketika seekor simpanse, sebagai anggota kelompok, mempelajari cara yang efektif untuk membuka biji kenari, lalu pindah ke kelompok lain yang menggunakan strategi yang kurang efektif, ia menghindari penggunaan metode yang lebih efektif semata untuk bergabung dengan kelompok baru. Manusia ternyata serupa. Ada tekanan internal yang sangat kuat untuk tunduk pada norma-norma kelompok. Ganjaran yang diperoleh sering kali lebih besar daripada ganjaran karena memenangkan perdebatan, karena terlihat cerdas, atau karena menemukan kebenaran. Hampir selalu, kita lebih baik salah bersama kelompok daripada benar tepi sendirian. Pikiran manusia tahu bagaimana harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Kita dibuat ingin sejalan dengan kebanyakan orang lain. Ini modus kita yang alami. Kita dapat melawannya, kita dapat memilih mengabaikan kelompok atau berhenti peduli terhadap yang dipikirkan orang lain, tapi ini tidak mudah. Berjalan melawan arus dalam kultur tempat kita tinggal menuntut kerja lebih keras. Ketika mengubah kebiasaan berarti menantang kelompok, perubahan itu tidak menarik. Ketika mengubah kebiasaan berarti menjadi lebih sesuai dengan kelompok, perubahan itu sangat menarik. 3. Meniru Orang yang BerkuasaManusia di mana pun berusaha meraih kekuasaan, kehormatan, dan status. Kita ingin menyandang gelar di depan nama. Kita ingin diakui, dianggap istimewa, dan dipuji. Kecenderngan ini bisa terkesan tidak produktif, tapi secara keseluruhan, merupakan langkah yang cerdas. Dalam sejarah, orang dengan kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi memiliki akses lebih besar ke sumber daya, tak terlalu takut tentang bertahan hidup, dan terbukti lebih menarik bagi lawan jenis. Kita tertarik meniru perilaku-perilaku yang membuat kita dihormati, disepakati, dipuji, dan memiliki status. Kita ingin menjadi sosok yang berotot di sasana kebugaran, atau pemusik yang mampu memainkan teknik paling sulit, atau orangtua dengan anak-anak yang paling sukses karena hal ini memisahkan kita dari orang kebanyakan. Jadi, begitu berhasil menyesuaikan diri, kita mulai mencari cara untuk menonjol dibandingkan orang lain. Ini satu alasan kita begitu peduli terhadap kebiasaan-kebiasaan orang yang sangat efektif. Kita berusaha meniru perilaku orang sukses karena kita sendiri ingin sukses. Banyak kebiasaan sehari-hari kita yang merupakan tiruan dari orang-orang yang kita kagumi. Kita membuat resep dari tukang kue yang kita sukai. Kita meniru gaya bercerita penulis yang kita sukai. Kita meniru gaya komunikasi atasan kita. Kita meniru orang yang kita kagumi. Kita juga termotivasi untuk menghindari perilaku yang akan menurunkan status kita. Kita memangkas pagar hidup dan rumput karena tidak ingin disebut jorok oleh tetangga. Kita terus-menerus bertanya dalam hati, "Apa kata orang lain tentang aku?" lalu mengubah perilaku kita berdasarkan jawabannya. Tiga bersaudari Polgar, juara catur yang diceritakan di awal, adalah bukti kuat dan lamanya dampak pengaruh sosial yang dapat terjadi pada perilaku kita. Ketiga bersaudari itu berlatih catur berjam-jam sehari dan terus melakukannya selama puluhan tahun. Akan tetapi, kebiasaan dan perilaku ini dipertahankan karena memiliki sifat menarik, antara lain, karena prestasi mereka dihargai oleh kultur mereka. Dari pujian oleh orangtua sendiri dan prestasi peraihan status sampai ke tingkat grandmaster, mereka mempunyai banyak alasan untuk terus bekerja keras. Advertisement:
Jadi, bab "Peran Keluarga dan Teman dalam Membentuk Kebiasaan" menegaskan bahwa keluarga dan teman memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan kita. Dengan memilih lingkungan sosial yang mendukung kebiasaan positif, kita dapat lebih mudah membangun dan mempertahankan kebiasaan baik. Bergabung dengan komunitas yang memiliki nilai dan perilaku yang selaras dengan tujuan kita akan membuat perubahan menjadi lebih alami dan berkelanjutan.
|