Belbuk.comtoko buku onlineBuku Original021-4202857
Topik:
 

IQ yang Tinggi Tidak Menjamin Seseorang Sukses

Oleh Belbuk.com, 18/05/2025
IQ yang Tinggi Tidak Menjamin Seseorang SuksesDalam bab “Kapan yang Pintar Itu Bodoh”, dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman mengungkap sebuah kenyataan mengejutkan: kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tidak selalu menjamin seseorang sukses dalam kehidupan nyata. Bahkan, orang yang sangat pintar secara akademis bisa membuat keputusan yang buruk karena kekurangan kecerdasan emosional.

Jason H, siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMA Coral Springs, Florida, bercita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekadar fakultas kedokteran, ia memimpikan Harvard. Tetapi, Pologruto, guru fisikanya, memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai itu akan menghalangi cita-citanya, Jason membawa sebilah pisau dapur ke sekolah dan dalam suatu pertengkaran dengan Pologruto di laboratorium fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka sebelum dapat ditangkap dengan susah payah.
Advertisement:
Bagaimana bisa seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang sedemikian tidak rasional, sesuatu yang betul-betul bodoh? Jawabannya: Kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak. Orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tidak capak dalam kehidupan pribadi mereka.

Ada pemikiran yang menyatakan bahwa IQ meramalkan kesuksesan. Padahal setinggi-tingginya, IQ hanya menyumbang kira-kira 20gi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, jadi yang 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Seorang pengamat mengatakan, "Status akhir seseorang dalam masyarakat pada umumnya ditentukan oleh faktor-faktor bukan IQ, melainkan oleh kelas sosial hingga nasib baik."

Berbeda dengan IQ, yang penelitian mengenainya telah berumur hampir seratus tahun atas ratusan ribu orang, kecerdasan emosional merupakan konsep baru. Sampai sekarang belum ada yang dapat mengemukakan dengan tepat sejauh mana variasi yang ditimbulkannya atas perjalanan hidup seseorang. Tetapi, data yang ada mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. Meskipun ada orang-orang yang mengatakan bahwa IQ tidak dapat banyak diubah oleh pengalaman atau pendidikan, tetapi kemampuan emosional benar-benar dapat dipelajari dan dikembangkan pada anak-anak apabila kita berusaha mengajarkannya.

Kecerdasan Emosional dan Nasib


Ketika 95 mahasiswa Harvard dari angkatan tahun 1940-an dilacak sampai mereka berusia setengah baya, mereka yang perolehan tesnya paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekan-rekannya yang IQ-nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka. Mereka juga bukan yang paling banyak mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam hubungan persahabatan, keluarga, dan asmara.

Sebuah tindak lanjut serupa sampai ke usia setengah baya telah dilakukan pada 450 anak-anak, sebagian besar anak-anak kaum imigran, dua pertiganya berasal dari keluarga yang mengandalkan tunjangan sosial, yang tumbuh dewasa di Somerville, Massachusetss, yang pada waktu itu merupakan perkampungan kumuh yang berjarak hanya beberapa blok dari Harvard. Sepertiganya mempunyai IQ di bawah 90. Tetapi, 7% kaum pria dengan IQ di bawah 80 menjadi penganggur selama 10 tahun atau lebih, dan begitu pula 7% kaum pria dengan IQ lebih dari 100. Yang jelas, ada suatu mata rantai umum antara IQ dan tingkat sosioekonomi pada usia 47 tahun. Tetapi, dengan adanya kemampuan masa kanak-kanak seperti sanggup menghadapi frustrasi, mengendalikan emosi, dan bergaul dengan orang lain, perbedaannya menjadi lebih besar.

Demikian juga data sebuah studi yang dilakukan terus-menerus terhadap 81 juara kelas dan juara kedua dari angkatan tahun 1981 di sekolah-sekolah menengah di Illionis. Meskipun mereka terus berprestasi bagus di perguruan tinggi, pada akhir usia dua puluhan mereka hanya berhasil mencapai tingkat keberhasilan rata-rata. Sepulih tahun setelah lulus sekolah menengah, hanya satu di antara empat orang yang meraih tingkat paling tinggi dalam profesi yang telah mereka pilih, dan banyak yang jauh di bawah itu.

Dan, itulah masalahnya: kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Bahkan IQ yang tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup. Sekolah dan budaya kita lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdasan emosional, yaitu serangkaian ciri-ciri yang juga sangat besar pengaruhnya terhadap nasib kita. Kehidupan emosional merupakan wilayah yang dapat ditangani dengan keterampilan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan membutuhkan seperangkat keahlian tersendiri. Dan seberapa cakap seseorang dalam keahlian ini sangatlah penting untuk memperoleh gambaran mengapa seseorang bisa berkembang dalam kehidupan, sementara orang lain dengan kecerdasan yang sama mengalami kemandekan. Keterampilan emosional adalah meta-ability yang menentukan seberapa baik kita mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain mana pun yang kita miliki, termasuk intelektual yang belum terasah.

Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap, yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tidak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi. Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik kemungkinan besar akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sementara orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.

Kecerdasan Jenis Lain


Taman Kanak-kanak Eliot-Pearson di kampus Tufts University mengembangkan Project Spectrum, suatu kurikulum yang secara sengaja berupaya mengembangkan berbagai macam kecerdasan. Project Spectrum menemukan bahwa repertoar kemampuan manusia jauh melampuai tiga keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, yaitu jalur sempit keterampilan yang secara tradisional menjadi fokus sekolah-sekolah. Dengan mendorong anak-anak mengembangkan semua kemampuan yang nantinya sungguh-sungguh akan mereka perlukan untuk mencapai sukses, atau sekedar untuk memenuhi apa yang mereka kerjakan, sekolah menjadi ajang pendidikan yang melatih keterampilan menghadapi kehidupan.

Penggagas utama di balik Project Spectrum itu adalah Howard Gardner, seorang ahli psikologi Harvard School of Education. Gardner berpendapat, satu-satunya sumbangan paling penting dari pendidikan untuk perkembangan seorang anak adalah membantunya menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten. Menurutnya, selama ini kita justru memaksa setiap orang untuk menjalani pendidikan yang apabila berhasil paling-paling akan membuat kita cocok menjadi profesor di perguruan tinggi. Sementara sebenarnya ada beratus-ratus cara untuk berhasil dan banyak kemampuan berbeda-beda yang akan menolong kita mencapai sukses.

Apabila ada orang yang melihat keterbatasan cara pikir konvensional tentang kecerdasan, orang itu adalah Gardner. Ia menunjukkan bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai selama Perang Dunia Pertama, ketika dua juta pria Amerika dipilih melalui tes IQ pertama secara massal. Tes IQ tersebut baru saja disusun oleh Lewis Terman, seorang ahli ilmu jiwa dari Stanford. Ini mengantar kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut "cara berpikir IQ".

Buku Gardner yang diterbitkan tahun 1983, Frames of Mind, yang amat berpengaruh merupakan manifestasi penolakan akan pandangan IQ tadi. Buku tersebut menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama. Daftarnya mencakup dua jenis kecerdasan akademis baku, yaitu kecakapan verbal dan matematika-logika. Tetapi daftar itu diperluas sehingga mencakup kemampuan pemahaman ruang yang tampak pada arsitek atau seniman yang istimewa; genius kinestetik yang diperagakan oleh para atlet hebat; dan bakat musik. Menggenapi daftar itu adalah dua segi apa yang disebut Gardner sebagai "kecerdasan pribadi", yaitu kecakapan antarpribadi seperti kecakapan pemimpin kaliber dunia seperti Martin Luther King, Jr. dan kemampuan intrapsikis dalam wawasan cemerlang Sigmund Freud.

Dalam salah satu tahap, Gardner serta rekan-rekan penelitinya telah memperluas ragam kecerdasan menjadi daftar yang berisi 20 macam kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan antarpribadi, misalnya, dipecah-pecah menjadi empat kemampuan tersendiri, yaitu kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dan mempertahankan persahabatan, kemampuan menyelesaikan konflik, dan keterampilan semacam analisis sosial yang dimiliki secara luar biasa oleh seorang anak yang berusia empat tahun.

Bisakah Emosi Menjadi Cerdas?


Peter Salovey, ahli psikologi Yale, menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam defenisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.

Tentu saja, kemampuan orang berbeda-beda dalam wilayah-wilayah ini. Beberapa orang di antara kita barangkali amat terampil menangani kecemasan diri sendiri misalnya, tetapi agak kerepotan meredam kemarahan orang lain. Landasan di balik tingkat kemampuan ini tentu saja adalah saraf, tetapi sebagaimana akan kita lihat, otak bersifat plastis - sangat mudah dibentuk, dan terus-menerus belajar. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diberbaiki sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya ketika masing-masing wilayah menampilkan bentuk kebiasaan dan respon, yang dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan.

IQ dan Kecerdasan Emosional: Tipe Murni


Jack Block, seorang ahli psikologi di University of California Berkeley, telah membuat suatu perbandingan antara dua tipe murni teoretis: orang ber-IQ tinggi lawan orang dengan kecakapan emosional tinggi. Perbedaan-perbedaannya sungguh menarik.

Tipe murni IQ tinggi hampir merupakan karikatur kaum intelektual, terampil di dunia pemikiran tetapi canggung di dunia pribadi. Profil-profilnya sedikit berbeda untuk kaum pria dan kaum wanita. Pria ber-IQ tinggi dicirikan dengan serangkaian luas kemampuan dan minat intelektual. Penuh ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun, dan tidak dirisaukan oleh urusan-urusan tentang dirinya sendiri. Cenderung bersikap kritis dan meremehkan, pilih-pilih dan malu-malu, kurang menikmati seksualitas dan pengalaman sensual, kurang ekspresif dan menjaga jarak, dan secara emosional membosankan dan dingin.

Sebaliknya, kaum pria yang tinggi kecerdasan emosionalnya, secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau gelisah. Mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab, dan mempunyai pandangan moral dan mereka simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka. Kehidupan emosional mereka kaya tetapi wajar. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan lingkungan mereka.

Kaum wanita yang semata-mata ber-IQ tinggi mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah intelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas. Mereka juga cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah, dan merasa bersalah, dan ragu-ragu untuk mengungkapkan kemarahan secara terbuka.

Sebaliknya, kaum wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, dan memandang diri mereka sendiri secara positif karena kehidupan memberi makna bagi mereka. Sebagaimana kaum pria, mereka mudah bergaul dan ramah, serta mengungkapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Kemantapan pergaulan mereka membuat mereka mudah menerima orang-orang baru. Mereka cukup nyaman dengan diri mereka sendiri sehingga selalu ceria, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman sensual. Berbeda dengan kaum wanita yang semata-mata ber-IQ tinggi, mereka jarang merasa cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurungan.

Tentu saja gambaran ini merupakan gambaran ekstrim, kita semua memiliki campuran kecerdasan IQ dan kecerdasan emosional dengan kadar yang berbeda-beda. Tetapi gambaran ini menyajikan suatu pandangan instruktif tentang apa yang ditambahkan secara terpisah oleh masing-masing dimensi ini terhadap ciri seseorang. Sejauh seseorang sekaligus mempunyai kecerdasan kognitif dan emsional, gambaran-gambaran ini berbaur. Namun, di antara keduanya, kecerdasan emosional menambah jauh lebih banyak sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Advertisement:
Jadi, bab “Kapan yang Pintar Itu Bodoh” dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman mengingatkan bahwa kecerdasan yang tidak disertai kematangan emosional bisa membawa pada kegagalan personal dan profesional. Dalam dunia yang serba kompleks dan sosial ini, orang yang benar-benar sukses bukan hanya yang pintar berpikir, tetapi juga pintar merasa dan berinteraksi.

Versi Video:

Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional)
Rp137.000
©2008-2025 - Belbuk.com
Jl. As'syafiiyah No. 60B, Cilangkap, Jakarta Timur 13870
Tlp. 021-22811835 (Senin s/d Jumat Pkl 09.00-18.00 WIB)