Problem besar yang menjadi bahan polemik teologis di kalangan umat sepanjang masa adalah menyangkut perbuatan manusia. Apakah perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri atau oleh Tuhan? Siapakah yang memiliki kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan manusia? Apakah manusia bebas memilih dan melakukan perbuatan sesuai dengan kemauan dan daya yang dimilikinya, atau ia terikat dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan?
Abul Hasan Al-Asy'ari (874-935 M) menyebut perbuatan manusia dengan kasb. Istilah ini kemudian menjadi inti dari pemikiran teologis yang ia gagas. Ulama klasik terkemuka ini mendasarkan pemikirannya pada beberapa ayat Al-Qur'an seperti: "wallâhu khalaqakum wa mâ ta'malûn (Allah yang menciptakan kamu sekalian dan apa yang kamu perbuat, QS. Ash-Shaffat: 96)" dan "wa mâ tasyâ-ûna illâ an yasyâ Allahu (kamu tidak akan menghendaki sesuatu apa pun kecuali apa yang dikehendaki Allah, QS. Al-Insan: 30)". Dalam pemikiran teologi ini perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan termasuk daya untuk berbuat. Seseorang tidak akan mampu melakukan sesuatu sebelum perbuatan itu diciptakan Tuhan. Begitu juga kehendak untuk melakukan perbuatan, pada dasarnya adalah kehendak Tuhan. Jadi kehendak dan perbuatan yang ada dalam diri manusia, pada hakikatnya adalah kehendak dan perbuatan Tuhan. Lalu bagaimana dengan dosa dan pahala yang menjadi tanggungjawab manusia? Apakah manusia lalu tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan?
