Sinopsis
Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, seniman, cendekiawan, dan apa saja.
Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.
***
Demikian tulis Kiai Mbeling—“julukan” budayawan Emha Ainun Nadjib—dalam “surat”-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sudah sampai di manakah langkah kita dalam meneladani kiprah Nabi Suci Saw.?
“Dalam diri Emha terwakili suatu sensibilitas pemuda.
Yaitu pemuda yang kritis, suka protes, tapi sekaligus religius.”
—Kuntowijoyo
Tentang Penulis
Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multi-talenta: penyair, esais, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Emha sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yang diterbitkan Mizan adalah Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Slilit sang Kiai, dan Surat kepada Kanjeng Nabi. Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, Emha juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.