Tweet |
Topik:
|
Peran Emosi dalam Kehidupan ManusiaOleh Belbuk.com, 13/05/2025
![]() Pasangan suami istri Gary dan Mary Jane Chauncey dan putrinya bernama Andrea adalah penumpang kereta Amtrak yang tercebur ke sungai setelah sebuah tongkang menghantam dan mengguncang jembatan rel kereta api di sungai kecil di kawasan pedesaan Louisiana, Amerika Serikat. Karena lebih memikirkan keselamatan putri mereka, pasangan tersebut berusaha keras menolong Andrea sewaktu air menghambur masuk ke dalam kereta yang tengah tenggelam. Entah bagaimana, mereka berhasil mengangsurkan Andrea melalui sebuah jendela ke regu penyelamat. Kemudian, sewaktu gerbong itu tenggelam di bawah air, mereka telah lenyap. Advertisement:
Kisah Andrea, tentang orang tua yang tindakan heroik terakhir mereka adalah memastikan keselamatan anak mereka, melukiskan suatu momen keberanian yang hampir-hampir seperti mitos. Tidak diragukan lagi bahwa kejadian pengorbanan semacam itu bagi anak mereka telah tak terbilang banyaknya berulang kali terjadi dalam sejarah dan prasejarah manusia, dan lebih banyak lagi terjadi dalam masa evolusi spesies manusia yang lebih besar. Bila dilihat dari sudut pandang ahli-ahli biologi evolusi, pengorbanan diri orangtua semacam itu mungkin dianggap sebagai tindakan untuk mewariskan gen-gen seseorang kepada generasi selanjutnya. Tetapi, dari sudut pandang orang tua yang membuat keputusan berat pada saat-saat kritis, tindakan tersebut tak bisa lain kecuali cinta.
Kekuatan emosi ini luar biasa. Hanya cinta yang amat kuatlah, yaitu desakan untuk menyelamatkan anak tercinta, yang dapat mendorong orangtua mengalahkan hasrat menyelamatkan diri sendiri. Bila ditinjau dari aspek nalar, pengorbanan semacam ini jelas tidak rasional; bila ditinjau dari aspek perasaan, tindakan tersebut adalah merupakan satu-satunya pilihan. Menurut para ahli sosiobiologi, emosi menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang terlampau riskan bila hanya diserahkan kepada otak, yaitu berupa bahaya, kehilangan yang menyedihkan, keterikatan dengan pasangan, dan membina keluarga. Setiap emosi menawarkan pola persiapan tindakan tersendiri; masing-masing menuntun kita ke arah yang telah terbukti berjalan baik ketika menangani tantangan yang datang berulang-ulang dalam hidup manusia. Karena situasi ini berlangsung terus-menerus dalam sepanjang sejarah evolusi manusia, nilai kelangsungan hidup repertoar emosi dibuktikan oleh terekamnya nilai tersebut dalam sistem saraf sebagai sifat bawaan dan kecenderungan otomatis perasaan manusia. Pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi jelaslah pandangan yang amat picik. Sebutan Homo Sapiens, spesies yang berpikir, merupakan hal yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains saat ini tentang emosi dalam kehidupan kita. Sebagaimana kita ketahui dari pengalaman, apabila masalahnya menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya, dan sering kali lebih penting, daripada nalar. Kita sudah terlampau lama menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni, yang menjadi tolok ukur IQ, dalam kehidupan manusia. Bagaimana pun, kecerdasan tak berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Bila Nafsu Mengalahkan NalarKisah berikut adalah tragedi yang menyedihkan. Matilda Crabtree, yang berumur empat belas tahun, hanya bermaksud menggoda ayahnya: ia melompat keluar dari lemari dan berteriak "Hiii!" sewaktu orangtunya tiba di rumah pada suatu pagi setelah mengunjungi teman-temannya. Tetapi kedua orangtuanya mengira Matilda menginap bersama teman-temannya malam itu. Sewaktu mendengar bunyi-bunyian ketika ia masuk rumah, ayahnya meraih pistol kaliber 38 miliknya dan masuk ke ruang tidur Matilda untuk menyelidiki. Ketika putrinya melompat keluar dari lemari, ayahnya menembaknya di leher. Matilda Crabtree meninggal dua belas jam kemudian. Salah satu warisan evolusi yang berhubungan dengan masalah emosional adalah rasa takut yang mendorong kita melindungi keluarga dari bahaya. Dorongan itulah yang membuat Bobby Crabtree, ayah Matilda, meraih pistolnya dan menyelidiki rumahnya untuk menangkap pencuri yang dipikirnya sedang mengendap-endap dalam rumah. Menurut para ahli biologi evolusioner, reaksi otomatis semacam itu telah terekam dalam sistem saraf manusia karena selama periode yang panjang dan penting dalam prasejarah manusia, reaksi otomatis dapat menentukan hidup dan mati. Sesungguhnya, hukum-hukum dan aturan-aturan etika yang pertama, yaitu Kode Hammurabi, Sepuluh Perintah Tuhan agama Yahudi, dan Maklumat Raja Asoka, dapat dianggap sebagai usaha untuk mengendalikan, mengatasi, dan mendisiplinkan kehidupan emosional. Sebagaimana dilukiskan Freud dalam bukunya Civilization and Its Discontents, masyarakat harus memberlakukan peraturan-peraturan dengan maksud mengurangi ekses-ekses gejolak emosi yang terlampau bebas dari dalam diri manusia. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu sering kali menguasai nalar. Kodrat manusia ini muncul dari arsitektur dasar kehidupan mental. Dari segi bentukan biologis jaringan sirkuit saraf dasar emosi, sifat-sifat bawaan adalah apa yang paling berhasil berfungsi selama 50.000 generasi manusia yang terakhir. Kemampuan evolusi yang lambat dan hati-hati yang telah membentuk emosi telah berjalan dengan baik selama sejuta tahun. Sepuluh ribu tahun terakhir hanya sedikit yang terekam pada pola-pola biologis manusia untuk kehidupan emosional. Dalam keadaan apa pun, penilaian kita terhadap setiap permasalahan pribadi dan reaksi terhadapnya terbentuk bukan hanya oleh penilaian rasional atau sejarah pribadi kita, melainkan juga oleh pengalaman nenek moyang kita. Hal ini membuat kita kadang-kadang memiliki kecenderungan tragis, seperti diperlihatkan oleh peristiwa menyedihkan di rumah tangga Crabtree. Pendek kata, kita terlampau sering menghadapi dilema-dilema pascamodern dengan pola emosi yang lebih cocok untuk situasi zaman Pleistosen. Bagaimana Otak TumbuhUntuk memahami dengan lebih baik cengkeraman kuat emosi terhadap otak yang berpikir, dan mengapa perasaan dan nalar selalu siap saling menyerang, kita harus mempertimbangkan bagaimana otak tumbuh. Otak manusia, dengan berat kurang lebih satu setengah kilogram yang terdiri atas sel-sel dan cairan saraf, kurang lebih berukuran tiga kali ukuran otak kerabat-kerabat paling dekat kita dalam evolusi, yaitu primata bukan manusia. Selama evolusi jutaan tahun, otak telah tumbuh dari bawah ke atas, dengan pusat-pusat yang lebih tinggi berkembang sebagai elaborasi bagian-bagian yang lebih rendah, yang lebih primitif. Bagian otak paling primitif, yang dimiliki oleh semua spesies yang mempunyai lebih daripada hanya sistem saraf paling sederhana, adalah batang otak yang mengelilingi ujung atas sumsum tulang belakang. Akar otak ini mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernapas dan metabolisme organ-organ lain, juga mengendalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang sama. Otak primitif ini tidak dapat dikatakan berpikir atau belajar, tetapi merupakan serangkaian regulator yang telah diprogram untuk menjaga agar tubuh berfungsi sebagaimana mestinya dan bereaksi dengan cara yang tidak membahayakan kelangsungan hidup. Dari akar yang primitif ini, yaitu batang otak, terbentuklah pusat emosi. Berjuta-juta tahun kemudian selama masa evolusi, dari wilayah emosi ini berkembanglah otak-berpikir atau "neokorteks", yaitu bonggol besar jaringan berkerut-kerut yang merupakan lapisan-lapisan paling atas. Fakta bahwa otak-berpikir tumbuh dari wilayah otak emosional mengungkapkan banyak hal tentang hubungan antara pikiran dan perasaan; otak emosional sudah ada jauh sebelum ada otak rasional. Dengan berkembangnya mamalia-mamalia pertama, muncul lapisan-lapisan baru yang penting pada otak emosional. Lapisan-lapisan itu, yang mengelilingi batang otak, secara garis besar mirip roti bagel yang bagian bawahnya telah dimakan, di tempat inilah batang otak berada. Karena bagian otak ini mengelilingi dan membatasi batang otak, bagian tersebut disebut sistem "limbik", dari kata Latin "limbus" yang berarti "cincin". Wilayah saraf baru ini menambahkan emosi pada repertoar otak. Bila kita dikuasi oleh hasrat atau amarah, sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan, maka sistem limbik itulah yang sedang mencengkeram kita. Sewaktu sistem limbik itu tumbuh, sistem tersebut mempertajam dua alat yang berdaya besar, yaitu pemelajaran dan ingatan. Kedua kemajuan revolusioner itu memungkinkan seekor binatang menjadi jauh lebih cerdas dalam memilih-milih demi kelangsungan hidupnya. Kurang lebih seratus juta tahun yang lampau, otak mamalia mengalami pertumbuhan luar biasa. Sejumlah lapisan sel otak baru ditambahkan ke atas dua lapisan tipis korteks, bagian yang merencanakan, memahami apa yang diindra, dan mengatur gerakan, untuk membentuk neokorteks. Berbeda dari korteks dua lapis pada otak yang lebih kuno, neokorteks menyediakan keunggulan intelektual yang luar biasa. Neokorteks Homo sapiens, yang jauh lebih besar daripada spesies lain mana pun, telah menambahkan segala sesuatu yang menjadi ciri khas manusia. Neokorteks merupakan tempat pikiran; neokorteks memuat pusat-pusat yang mengumpulkan dan memahami apa yang diserap oleh indra. Neokorteks menambahkan pada perasaan apa yang kita pikirkan tentang perasaan itu dan memungkinkan kita mempunyai perasaan tentang ide-ide, seni, simbol-simbol, dan khayalan-khayalan. Dalam evolusi, neokorteks memungkinkan penyesuaian yang tepat sehingga tak diragukan lagi memberikan keunggulan luar biasa dalam segi kemampuan organisme untuk bertahan hidup melawan keadaan tidak bersahabat, sehingga pada gilirannya dapat membuat keturunannya memiliki kemungkinan lebih besar untuk mewariskan gen-gen yang memuat jaringan saraf yang sama. Kemampuan mempertahankan kelangsungan hidup itu disebabkan oleh bakat neokorteks untuk menyusun strategi, perencanaan jangka panjang, dan kemampuan mental lainnya. Selain itu, karya-karya seni besar, peradaban dan kebudayaan, semuanya merupakan hasil neokorteks. Tambahan baru pada otak ini memungkinkan bertambahnya nuansa-nuansa pada kehidupan emosional. Ambillah contoh cinta. Struktur limbik menghasilkan perasaan nikmat dan libido - emosi-emosi yang mendorong nafsu seksual. Tetapi, penambahan neokorteks dan sambungan-sambungannya ke sistem limbik memungkinkan adanya ikatan ibu-anak yang merupakan dasar unit keluarga dan keterlibatan jangka panjang untuk mengasuh anak sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan manusia. Spesies yang tidak mempunyai neokorteks, misalnya reptilia, tidak mempunyai rasa kasih sayang seperti itu; bila anak mereka menetas, bayi-bayi reptil yang baru lahir itu harus bersembunyi agar tidak dimakan induknya. Neokorteks memungkinkan adanya kepelikan dan kerumitan kehidupan emosional, misalnya kemampuan untuk memiliki perasaan mengenai perasaan kita. Sistem neokorteks-limbik pada primata lebih banyak dibandingkan pada spesies-spesies lain, dan pada manusia lebih banyak lagi. Hal itu menunjukkan mengapa kita mampu menampilkan rentang reaksi emosi yang jauh lebih lebar, dan lebih bernuansa. Bila kelinci atau monyet memiliki rangkaian respons khas terhadap rasa takut yang terbatas, neokorteks manusia yang lebih besar memungkinkan adanya repertoar respons yang jauh lebih cerdik, termasuk menelepon polisi. Tetapi, pusat-pusat yang lebih tinggi ini tidak mengatur semua kehidupan emosional; dalam perkara-perkara penting mengenai perasaan, pusat-pusat tersebut dapat dikatakan diatur oleh sistem limbik. Karena begitu banyak pusat-pusat otak yang lebih tinggi muncul atau merupakan perpanjangan ruang lingkup wilayah limbik, maka otak emosional memainkan peran penting dalam arsitektur persarafan. Sewaktu akar asal otak baru itu tumbuh, wilayah-wilayah emosi itu terjalin melalui miliaran jaringan penghubung ke setiap bagian neokorteks. Hal ini memberi pusat-pusat emosi kekuatan luar biasa untuk memengaruhi berfungsinya bagian lain otak - termasuk pusat-pusatnya untuk pikiran. Advertisement:
Jadi, bab "Apa Kegunaan Emosi?" dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman menekankan bahwa emosi dan rasionalitas bukan musuh, tetapi mitra. Emosi membantu otak membuat keputusan yang cepat dan bermakna. Goleman menyarankan bahwa kecerdasan emosional – kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi – sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual.
|