Belbuk.comtoko buku onlineBuku Original021-4202857
ALFIAN ROKHMANSYAH
ALFIAN ROKHMANSYAH
Semarang, Jawa Tengah
Ulasan:
Filsafat Seni
Filsafat Seni, Jakob Sumardjo
Rating: 3 dari 5 Bintang!, 11/10/2011
4 dari 4 orang menilai cukup membantu
POKOK-POKOK FILSAFAT SENI

Sudah diutarakan bahwa pada mulanya estetika atau filsafat keindahan bersifat spekulatif (estetika dari atas) dan merupakan bagian dari filsafat umum seorang filsuf. Ini sering disebut sebagai estetika lama. Dengan sendirinya ada yang disebut estetika modem (baru). Estetika baru ini muncul dalam abad ke-19 di Eropa dengan sejumlah tokohnya seperti Hippolyte Taine dan Gustav Fechner yang mulai beralih pada metode ilmiah (empiris) dalam menjawab persoalan seni. Oleh Fechner (ahli estetika eksperimental), estetika baru ini disebut estetika dari bawah.

Seperti kita ketahui, dalam studi filosofis, persoalan muncul dari pertanyaan. Dengan sendirinya pertanyaan filosofis dari dulu sampai sekarang tetap sama, dan tampaknya juga amat sederhana, seperti: Apakah seni itu? Pertanyaan tetap sama, tetapi jawabannya dapat berbeda-beda dan tampak saling bertentangan. Persoalan lama yang tampaknya telah dijawab dengan baik oleh para filsuf dan pemikir seni ternyata di kemudian hari dibongkar kembali untuk dilengkapi atau bahkan dirombak sama sekali. Rupanya berbagai jawaban spekulatif semacam inilah yang mendorong para pemikir seni abad ke-19 untuk menuntaskannya dengan berbagai pembuktian ilmiah. Kajian sehi dengan demikian berpindah dari bidang filsafat ke bidang ilmu.

Apa pun metodenya, filsafat atau ilmu, tujuan estetika tetap sama, yakni pengetahuan dan pemahaman tentang seni. Kalau orang mau bekerja, tentu ia harus memahami apa yang akan dikeijakannya. Untuk apa dan dengan cara bagaimana. Begitu pula dengan penilaian hasil keija tadi (evaluasi) - diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang serupa. Dan inilah kegunaan estetika.

Dalam sejarah pemikiran seni di dunia Barat yang dimulai sejak zaman Yunani kuno (di dunia Timur, sejarah pemikiran semacam itu hanya muncul secara sporadis, tidak berkesinambungan, sehingga telaah filosofis tentang seni lebih banyak dilakukan secara empiris ilmiah berdasarkan benda-benda seni sepanjang sejarahnya; jadi, lewat sejarah seninya). Jawaban atas pertanyaan filosofis tentang seni itu bermacam ragam dan tidak selalu menjawab pertanyaan yang sama. Maka, kalau aneka pertanyaan dan jawaban tersebut ditata kembali, akan diperoleh peta pertanyaan filosofis seni seperti yang akan diuraikan berikut ini.

Filsafat seni, yang merupakan bagian dari estetika modern, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk), tetapi juga aktivitas manusia atas produk tersebut, baik keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut. Lazimnya, pemikiran tentang produk atau benda seni disebut sebagai estetika morfologi (estetika bentuk), dan pemikiran tentang si pembuat benda seni dan yang memanfaatkan benda seni dinamai estetika psikologi. Khusus pengguna karya seni masih ditelaah dalam bidang aksiologi estetik, yakni efek seni pada manusia. Dengan demikian, sebenarnya hanya ada tiga pokok persoalan filsafat seni, yakni seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni itu sendiri, dan kaum penerima seni. Namun, dari setiap instansi tadi akhirnya berkembang pokok-pokok baru, yakni dari benda seni muncul pokok soal nilai seni dan pengalaman seni, sedangkan dari masalah seniman dan penerima seni akan muncul pokok konteks budaya seni. Dengan demikian, terdapat enam pembahasan pokok dalam filsafat seni, yakni:

1. benda seni
2. pencipta seni
3. publik seni
4. konteks seni
5. nilai-nilai seni
6. pengalaman seni

Semua pokok bahasan tersebut untuk menjawab pertanyaan: apakah seni itu? Adapun jabaran semua persoalan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

BENDA SENI

Pokok persoalan seni sebenarnya karya seni yang berwujud konkret yang terindera dan teralami oleh manusia. Tanpa lahirnya benda seni tak mungkin muncul persoalan-persoalan seni di atas. Dalam pokok 'benda seni' ini dibahas material seni atau medium seni. Seni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik dengaran (audio) maupun lihatan (visual) dan gabungan keduanya. Ini akan melahirkan bidang seni tertentu, yakni seni visual (seni rupa, seni patung, seni arsitektur) dan seni audio (seni musik, sastra) dan seni audio-visual (seni teater, seni tari, seni film). Masing-masing golongan seni tadi ditentukan bentuknya oleh material seninya atau mediumya. Tiap medium memiliki ciri khasnya sendiri dengan keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Lazimnya penggolongan benda seni akan melahirkan ilmu-ilmu seni khusus, seperti ilmu sastra, ilmu seni tari, dan ilmu seni teater. Dalam kenyataannya, ilmu-ilmu tadi dituliskan dalam buku penuntun yang biasanya beijudul Pengantar Seni Teater, Pengantar Seni Rupa, dan sebagainya.

Dalam persoalan benda seni ini biasanya juga dipermasalahkan apakah suatu karya seni merupakan peniruan kenyataan (mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Debat tentang pokok persoalan ini telah dimulai sejak Plato dan Aristoteles dan tak pernah selesai sampai sekarang. Persoalan subjektivitas dalam seni (ekspresi) dan objektivitas (mimesis) berlangsung di lingkungan penciptaan (seniman) dan pengamatan (evaluasi kritikus).

Benda seni juga mempermasalahkan analisis bentuk dan isi seni. Perdebatan yang muncul di sini juga cukup melelahkan. Dan, tentu saja melelahkan karena setiap jawaban filosofis selalu bersifat mengiyakan atau menidakkan, dan orang tinggal memilih hendak berada di pihak yang mana. Kata akhir untuk persoalan ini tergantung pada 'filosofi' setiap orang. '

PENCIPTA SENI

Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan ekspresi. Apakah sebenarnya kreativitas itu? Apa pula yang disebut ekspresi, dan apa bedanya dengan representasi? Akhir-akhir ini juga dipermasalahkan apakah pencipta seni berjenis kelamin wanita berbeda dengan yang beijenis kelamin lelaki? Dalam soal seniman, dengan sendirinya dipermasalahkan juga pribadi si seniman, yang tercermin dalam aneka karyanya, dan ini menimbulkan soal gaya atau style dalam seni.

Perdebatan mengenai penting atau tidaknya mengetahui maksud seniman dalam karyanya bermula dari pokok soal pencipta seni ini. Begitu pula persoalan orisinalitas, keotentikan, keunikan, karakter dalam seni, semuanya bermula dari persoalan seniman.

PUBLIK SENI

Seni bukan hanya masalah penciptaan karya seni, tetapi juga soal komunikasi dengan orang lain.-Suatu ciptaan disebut seni bukan oleh senimannya, tetapi oleh masyarakat seni dan masyarakat umumnya. Seni juga pengakuan umum. Seniman disebut seniman oleh masyarakatnya karena status yang dipeijuangkannya. Seni itu publik. Maka, soal komunikasi nilai-nilai seni menjadi persoalan seni juga, dan di dalamnya dipersoalkan empati, jarak estetik, apresiasi, institusi penentu nilai seni dalam masyarakat. Dan yang namanya 'publik seni' itu tidak selalu seluruh masyarakat, tetapi hanya sebagian saja. Maka, dipersoalkan pula karakteristik masyarakat yang dapat menerima suatu produk seni. Untuk persoalan-persoalan ini, sangatlah berperan bantuan kajian sosiologi, psikologi, dan antropologi seni.

NILAI SENI

Dengan cara ekstrem, filsuf seni Benedetto Croce mengatakan bahwa karya seni atau benda seni tak pernah ada, sebab seni itu ada dalam jiwa setiap penanggapnya. Di sini dibicarakan masalah nilai-nilai yang diciptakan sendiri oleh penanggap seni terhadap sesuatu yang diperlakukannya sebagai benda seni. Di sinilah persoalan seni paling rumit dibicarakan dalam pembicaraan mendasar tentangnya. Persoalan seni sebenarnya adalah persoalan nilai-nilai tadi sehingga dalam bidang filsafat, kajian seni dikategorikan dalam kelompok kajian tentang nilai, sejajar dengan etika dan logika.

Nilai selalu berhubungan dengan norma-norma yang esensial, juga dengan suatu kepentingan (interest) yang sifatnya sangat kontekstual, dan dengan kualitas yang amat pribadi. Kandungan nilai benda seni yang menyangkut kualitas, bersifat kontekstual dan esensial-universal ini dapat menimbulkan perdebatan yang tak habis-habisnya.

PENGALAMAN SENI

Seni bukanlah masalah komunikasi biasa seperti penyampaian informasi. Komunikasi seni adalah komunikasi nilai-nilai berkualitas, baik kualitas perasaan maupun kualitas Tebalmedium seni itu sendiri. Singkat kata, komunikasi seni adalah komunikasi pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan intuisi. Bahkan ada yang menyatakan bahwa hakikat seni itu pengalaman. Pengalaman seni berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Barang siapa masuk ke dalam proses tersebut, dia akan kuyup dengan seni, seperti orang yang baru saja keluar dari marabahaya atau kemesraan bercinta. Jadi, ada waktu 'sebelum seni', 'mengalami seni', dan 'sesudah seni'. Maka, soal empati dan jarak estetik dipersoalkan kembali di sini. Pertanyaannya adalah: Apakah hakikat pengalaman seni itu, yang berarti menjawab apakah seni itu.

KONTEKS SENI

Di sini kita kembali ke persoalan nilai-nilai seni. Karena seni juga menyangkut nilai-nilai setempat dan sezaman (kontekstual), maka pemahaman seni juga amat erat hubungannya dengan konteks zaman tersebut. Inilah sebabnya terdapat sejarah seni, dan setiap zaman memiliki fahamnya sendiri tentang apa yang disebut seni dan yang bukan seni (dalam arti seni yang kurang bermutu menurut •zamannya). Persoalannya menjadi lebih rumit ketika dalam suatu tempat dan zaman sebuah masyarakat terbagi-bagi menjadi berbagai kelompok nilai dasar (menurut ideologi sosialnya). Apa yang dihargai oleh suatu kelompok sebagai bernilai tinggi, oleh kelompok lain justru dianggap tak berharga. Begitu pula dalam soal nilai seni. Ada benda seni yang dalam suatu kelompok sosial disanjung sebagai bernilai seni, oleh kelompok lain diabaikan saja, dianggap bukan termasuk bagian dari keseniannya. Persoalan konteks dalam seni adalah persoalan anutan nilai-nilai dasar kelompok dalam suatu masyarakat.

Begitulah beberapa aspek persoalan yang biasanya diperdebatkan dalam upaya memahami apakah hakikat seni itu. Persoalan seni ternyata melibatkan berbagai pokok tinjauan yang satu sama lain amat bertalian. Persoalan benda seni akan melibatkan pembicaraan tentang nilai-nilai dan pengalaman seni yang diperoleh, sedangkan persoalan nilai-nilai akan berkaitan dengan publik seni dan konteks sosial-budaya. Semuanya itu memperlihatkan bahwa persoalan seni bukanlah persoalan yang mudah dijawab. Sama sulitnya ketika orang mempertanyakan: Apakah hidup itu? Apakah keadilan itu? Apakah kebaikan itu? Apakah kebenaran itu? Tetapi toh orang perlu landasan untuk berdebat, dan itu diusahakan lewat filsafat seni.
 
©2008-2024 - Belbuk.com
Jl. As'syafiiyah No. 60B, Cilangkap, Jakarta Timur 13870
Tlp. 021-22811835 (Senin s/d Jumat Pkl 09.00-18.00 WIB)